JAKARTA,LENSAJABAR.COM– Di Indonesia partisipasi angkatan kerja perempuan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat hingga mencapai sekitar 51 persen. Namun begitu, partisipasi perempuan dalam ketenagakerjaan masih tergolong rendah. Dan, angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan angka partisipasi angkatan kerja laki-laki yang mencapai 85%. Selain itu, pada jenis-jenis pekerjaan yang sama, upah perempuan Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan upah laki-laki, selisih ini bahkan mencapai 25 persen.
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Ketenagakerjaan, Kementerian PP dan PA (KPPPA) Lies Rosdiaty mengatakan, semua kementerian mempunyai tugasnya masing-masing dalam perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) dan peran KPPPA mempunyai tugas yang spesifik dalam penanganan TKI, khususnya dalam perlindungan TKI yang pulang ke Tanah Air, apalagi TKI tersebut pulang bersama anak hasil dari korban seksual di tempat TKI itu bekerja (luar negeri, red).
“Masyarakat banyak beranggapan bahwa TKI dianggap sebagai pahlawan devisa, namun ada satu yang terabaikan dan harus menjadi perhatian, yakni dampak sosial bagi TKI,” ungkapnya disela Diskusi “Peran dan Hak Perempuan Dalam Ketenagakerjaan” di kantor KPPPA, Jakarta, Jumat (2/2/18).
Dirinya berharap agar tenaga kerja Indonesia tidak hanya dijadikan objek, namun dapat di jadikan subjek. “Saat ini KPPPA sudah membentuk satu kelompok Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (BKTKI) dan sudah ada di 106 desa, 90 kecamatan dan 63 kabupaten/kota.
Sementara, salah seorang narasumber lain yakni perwakilan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Maizidah Salas menambahkan, bagi para purna TKI, BNTKI dapat menjadi jalan keluar dan dapat membantu mereka.
“Kami, khususnya di Wonosobo sudah membentuk Kelompok Kerja Bina Keluarga TKI dan sudah banyak yang menjadi anggota yang rata-rata dari mantan buruh migran,” jelas perempuan yang asal Wonosobo yang juga mantan TKI tersebut. (is)