JAKARTA, LENSAJABAR.COM – Masyarakat banyak yang berharap pada pemerintahan dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto saat ini dan kedepannya. Salah satunya dunia pendidikan, baik dari pendidikan dasar dan menengah hingga perguruan tinggi. Pemerintah melalui kementerian terkait, apalagi saat ini menteri pendidikan dasar dan menengah dan perguruan tinggi berasal dari akademisi.
Seperti harapan yang disampaikan Rektor Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) Prof. Dr. H. Sumaryoto bahwa dirinya mempunyai usul agar menteri pendidikan dapat lebih bijaksana dan melihat kondisi perguruan tinggi khususnya swasta dalam membuat peraturan, salah satunya untuk meninjau kembali kebijakan pajak perguruan tinggi.
“Saya ingin menyampaikan semacam usulan, karena penerimaan pajak dalam dunia pendidikan baik pendidikan dasar menengah maupun pendidikan tinggi sepertinya kurang adil, kenapa?. Kalau kita lihat kembali pada pembukaan UUD Dasar 1945 disana dinyatakan bahwa negara bertanggung jawab kepada bangsa lalu dalam Islam juga diajarkan menuntut ilmu adalah wajib dari sejak lahir sampai menutup mata. Itu artinya apa lembaga pendidikan mestinya tidak boleh terlalu memberatkan.
“Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan suatu fakta bahwa di dunia pendidikan ini sangat-sangat banyak diberlakukan beban pendidikan secara komersil,” ujar Sumaryoto kepada wartawan diruang kerjanya, Sabtu (9/11/2024).
Sebagai contoh, di sekolah dasar (SD) ada SPP-nya yang mencapai Rp 6 juta rupiah perbulan, tapi UNINDRA biaya kuliah hanya Rp. 200 ribu perbulan.
“UNINDRA sejak berdiri 20 tahun yang lalu sampai detik ini kami punya visi mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, sehingga alhamdulillah pada tahun 2019 kami mendapatkan piagam dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta bahwa UNINDRA berhasil mengentaskan kemiskinan dan kebodohan, ini suatu bukti. Tapi kalau kami (UNINDRA, red) sebagai perguruan tinggi swasta dengan biaya kuliah sudah murah dan dikenakan pajak perguruan tinggi (SPP) bagaimana?.
UNINDRA katanya, hingga saat ini, tidak pernah dibantu oleh pemerintah, baik dalam bantuan operasional atau apapun.
“Kami murni mandiri. Jadi ini yang kami rasakan kurang adil, sementara ada perguruan tinggi bahkan sekolah yang menekan SPP yang begitu mahal seperti yang disebutkan diatas. Ini yang akan kami sampaikan kepada pemerintah, tentunya coba di dalam mengatur dan membuat regulasi perpajakan lebih adil, artinya kalau pendidikan yang memang betul-betul fungsi sosial, ya jangan dikenakan pajak, kalau dosen dan pegawai silahkan, karena itukan penghasilan pribadi. Tapi kalau SPP (uang kuliah) di lembaga pendidikan tinggi yang sudah murah masa di kenakan pajak?. Ini mestinya ada regulasi yang lebih adil sehingga kami tidak merasa dibebani, padahal kami ikut membantu pemerintah.
Lebih lanjut kata rektor Sumaryoto, hingga saat ini sudah puluhan ribu guru di provinsi DKI Jakarta adalah lulusan UNINDRA.
“Alumni kami sudah lebih dari 100 ribu lulusan dengan mahasiswa 40 ribu saat ini serta dosen yang berjumlah 1.100 lebih mengemban pengentasan, karena mahasiswa kami adalah golongan bawah dengan SPP yang sangat murah, satu semester hanya bawah Rp.1,5 juta rupiah,” ungkapnya.
Lalu hal lain katanya, adalah peraturan yang mengatur tentang penghasilan dosen. Diakui pihaknya juga berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan yang terbaik untuk dosen.
“Dengan SPP yang murah pastinya kami juga memberikan gaji dosen juga harus diselesaikan karena mengingat dana yang sangat terbatas. Jadi walaupun dengan dana terbatas tapi mengacu kepada peraturan pemerintah tentang gaji pokok pegawai negeri, bila kami menggaji dosen juga tidak jauh sedikit perbedaannya, karena kami mengikuti dari tahun 2014 adalah aparatur sipil negara (ASN). Jadi dengan peraturan yang baru untuk mengharuskan harus sama dengan upah minimum nah ini sepertinya juga kurang adil,” ujarnya.
Masih katanya, dosen dengan pekerja itu beda, upah dengan gaji itu beda. Maka hal ini mohon dibuat aturan yang khusus untuk dosen, bukan disamakan dengan pekerja minimun. Bayangkan upah minimum beda-beda; di setiap daerah. Seperti di Jakarta beda dengan yang di Bekasi ataupun dengan Cirebon.
“Bagaimana coba, kalau dosen itu bisa mulai upah minimum kalau bekerja perusahaan atau pekerja yang sifatnya pendidikan sebagai dosen tenaga profesional punya sertifikasi. Nah ini harus dibuat peraturan tersendiri yang tidak membebani lembaga pendidikan seperti kami. Boleh di berlakukan seperti standar minimum, tapi kami perlu subsidi, subsidi untuk pengajar pada dosen itu baru mungkin ada rasa keadilan. Jadi intinya rasa keadilan tentang pajak, tentang pengajar, dosen ini harus melihat kasus per kasus tidak di realisasi sehingga tidak menjadi beban bagi kami,” tutupnya.