PALEMBANG, LENSAJABAR.COM – Koordinator Komite Masyarakat Peduli Pembangunan Lingkungan (KMPPL) Sumatera Selatan (Sumsel) Chandra Anugrah mengungkapkan bahwa Departemen Kehutanan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi,
“Sesuai dengan Surat Keputusan (SK). 159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi yang kemudian diubah dengan P.61/Menhut-II/2008 yang digunakan sebagai pola dalam mengatur sistem pengelolaan hutan produksi melalui restorasi ekosistem,” ujar Chandra saat menggelar konferensi pers di Kopitiam Jalan Jendral Sudirman, Palembang, Selasa (30/3/2021).
Chandra mengatakan, dalam pelaksanannya restorasi hutan mencakup seluruh aspek, mulai dari perencanaan, pengesahan, dan pelaporan kegiatan restorasi ekosistem, termasuk kegiatan perencanaan hutan, inventarisasi flora dan fauna, pengamanan dan perlindungan hutan serta pemetaan wilayah kerja.
“Peraturan itu lalu dilengkapi dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2004 tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem,” ucapnya.
Masih Kata Chandra, bahwa payung dari kedua peraturan itu adalah Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan. Pada 2005, Menteri Kehutanan menunjuk areal seluas kurang lebih 101.355 hektar di Provinsi Jambi dan Provinsi Sumsel sebagai areal Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi, melalui Kepmenhut SK. No. 83/Menhut–II/2005. Inilah hutan restorasi ekosistem pertama di Indonesia.
“PT REKI yang baru didirikan pada tahun 2005, merupakan konsorsium dari Birdlife yang terdiri dari Birdlife Indonesia, Royal Society for Protection of Bird (RSPB), dan Birdlife International. Perusahaan tersebut dapat dikatakan secara langsung ataupun tidak langsung terkait dengan Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris, yang pada November 2008 mengunjungi hutan eks HPH Asialog di Provinsi Jambi,” jelasnya.
Chandra menjelaskan, bagi banyak kalangan kunjungan tersebut dapat dikatakan sebagai diplomasi yang menekan agar PT REKI bisa mendapatkan izin beroperasi di kawasan hutan. Kemudian diketahui bahwa PT REKI mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).
“Batas di Hutan Harapan merupakan tindak lanjut dari penunjukan kawasan hutan IUPHHK-RE kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia di wilayah Provinsi Sumatera Selatan (SK. 293/MENHUT-II/2007) dan Provinsi Jambi (SK. 327/MENHUT-II/2010),” terangnya.
Laporan penataan batas temu gelang Hutan Harapan di Provinsi Jambi disahkan 6 Januari 2016, dan diajukan penetapan arealnya melalui surat Nomor 010/REKI-JB/II/2016 tanggal 9 Februari 2016, melalui surat Nomor 150C/REKI-JB/2019, tanggal 30 September 2019.
Sementara itu, laporan tata batas temu gelang Hutan Harapan di Provinsi Sumatera Selatan disahkan 20 April 2016, dan sudah diajukan penetapannya melalui surat Nomor 050/REKI-SS/V/2016 tanggal 25 Mei 2016. Selanjutnya telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor :468/Menlhk/Setjen/PLA.0/11/2018 tanggal 6 Nopember 2018.
Saat ini, di lokasi konsesi menderita karena perambahan oleh penebang liar dan pengembangan perkebunan kelapa sawit ilegal. PT REKI di kawasan Hutan Harapan tidak mendapatkan respon positif dari masyarakat sekitar hutan. Tampak pula bahwa penegakan hukum di kawasan konservasi dan wilayah restorasi di daerah masih belum diberikan prioritas yang layak.
Konflik dimulai sejak PT REKI mendapatkan izin kelola restorasi ekosistem di hutan produksi Jambi, seluas 46.385 hektar, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.327/Menhut-II/2010. Di satu sisi, para pemegang izin konsesi penebangan, perkebunan kayu dan restorasi ekosistem bertanggung jawab untuk daerah yang diberikan kepada mereka.
Mereka diminta untuk mematuhi hukum negara, termasuk mencegah dan memerangi kebakaran, menjaga daerah mereka dari praktek penebangan liar dan konversi penggunaan lahan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa konflik antara batas konsesi yang memiliki banyak pintu masuk juga jadi rawan perambahan.
“Tahun 2009, saat peralihan, sudah 13.988 hektar areal perambahan. Data terakhir 2016, sudah sampai 22.866 hektar. Untuk deforetasi, data dari tahun ke tahun fluktuatif dari 2010 hingga 2017. Tertinggi 2013, mencapai 3.555 hektar,” tambahnya.
Chandra menambahkan, hingga Juni 2018, Komite Masyarakat Peduli Pembangunan Lingkungan (KMPPL) mencatat 200,32 hektar berdasarkan hasil ground check. Seluas 132,6 hektar belum ditanami dan 7,72 hektare menjelma menjadi kebun kelapa sawit.
Diketahui, Krisis keragaman hayati biasanya disajikan terbatas mengenai spesies ikonik seperti harimau, gajah, dan yang berpotensi punah. Itu artinya, pengelola gagal elihat hubungan antara nasib spesies-spesies itu dengan kebutuhan hidup masyarakat miskin.
“Konservasi spesies langka biasanya gagal menghasilkan manfaat yang memadai bagi masyarakat di sekitar hutan dan sering kali menghilangkan hak dan akses mereka terhadap pemanfaatan sumber daya alam serta investasi dalam Infrastruktur Hijau dan Solusi Berbasis Alam, sebagai strategi mempertahankan kebijakan lingkungan serta implementasinya,” tandasnya.
Atas dasar itu, KMPPL mendesak agar izin kawasan konservasi saat ini untuk ditinjau kembali. Rasanya cukup relevan mengembalikan pengelolaan kawasan tersebut kepada pemerintah daerah.(*).