Siapkah Indonesia Hadapi Gejolak di Industri Komoditas Global, Bila EUDR Diberlakukan?

Jakarta, Lensajabar.com – Pemerintah Indonesia telah memahami bahwa deforestasi mempunyai dampak negatif baik terhadap sumber daya hutan dan juga kehidupan manusia. Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Delima Hasri Azahari menyatakan sikap pemerintah atas EUDR. Hal ini disampaikan Delima pada Seminar Hasil Penelitian “Analisis dan Potensi Dampak Kebijakan Deforestation-Free Product (DFP) oleh Uni Eropa terhadap Komoditas Kelapa Sawit di Indonesia”.

Dikatakan bahwa Uni Eropa (UE) sudah mengeluarkan regulasi deforestasi atau dikenal dengan The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang menyebabkan gejolak di industri komoditas global. Bagaimana dampak kebijakan DFP terhadap Indonesia?.

“Kita paham Eropa mempunyai komitmen terkait tentang New Green Deal yakni mereka ingin menurunkan emisi karbon (mereka) menjadi nol (0) di tahun 2050. Kita juga sebagai mitra dari Eropa berusaha untuk off lay kebijakan-kebijakan yang mereka tetapkan, salah satu yang adanya deforestation free,” ujar Delima kepada wartawan, Rabu (4/12/2024) di Hotel The Westin, Jakarta.

Sebab katanya, Indonesia mempunyai komitmen yang sama dengan Uni Eropa untuk menurunkan emisi karbon dan menjaga lingkungan.

“Jadi kebijakan-kebijakan lain adalah persiapan kita untuk mendukung komitmen mereka dalam menurunkan emisi dan juga menjaga lingkungan. Jadi yang mereka inginkan menjaga kesinambungan Planet (Lingkungan), Profit (Ekonomi) dan People (Sosial),” jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan, Indonesia sebenarnya sudah komitmen dengan itu, termasuk beberapa komoditas yang lainnya.

“Komoditas kita sudah berkomitmen dengan sustainable yang terdiri dari 7 komoditas, selain palm oil ada karet, kopi, kakao, soya bean, food,” ucapnya

Dari hasil riset BRIN jelas Delima, sebetulnya hal ini sedah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar juga. Tapi yang menjadi persoalan, bagaimana supaya petani masuk (inklusif) dalam komitmen-komitmen itu.

“Agar petani inklusif harus ada upaya-upaya untuk peningkatan kapasitas building para petani kita, seperti edukasi, sosialisasi dan sebagainya melalui pendampingan dan pelatihan agar petani dapat mengikuti dengan kebutuhan global,” ungkap Delima.

Kembali katanya, dalam riset ini hanya memperlihatkan potensi dampaknya bila kebijakan ini diberlakukan. Seperti apa dampaknya?.

“Jadi, riset ini dapat mengevaluasi apakah bila kebijakan ini diberlakukan dapat menurunkan ekspor kita, menurunkan ekonomi kita. Selain itu dapat mengetahui negara mana saja yang terdampak bila kebijakan ini diberlakukan,” tutupnya.