Bandung, LENSAJABAR.COM – Dibalik ramainya arus kendaraan dan aktivitas warga di kawasan Pasteur, Kota Bandung, terdapat sejumlah pedagang kaki lima (PKL) yang menggantungkan hidup dari lapak gerobak sederhana di sekitar Griya Pasteur dan Rumah Sakit (RS) Hermina Pasteur.
Namun belakangan, mereka diliputi kegelisahan akibat penertiban yang dinilai belum dibarengi solusi konkret terkait keberlanjutan penghidupan.
Mengutip dari hasil wawancara Tim PrabuNews dengan sejumlah PKL yang sehari-hari berjualan di kawasan tersebut. Mayoritas pedagang mengaku memahami bahwa aktivitas mereka melanggar aturan karena menggunakan bahu jalan. Meski demikian, mereka berharap penertiban dilakukan secara manusiawi, melalui dialog terbuka dan penataan yang jelas.
“Kami Tidak Menolak Ditata, Asal Ada Kepastian,” ucap Abdul selaku koordinator PKL di sekitar RS Hermina Pasteur.
Ia mengungkapkan dirinya telah berjualan selama 15 tahun dengan meneruskan usaha orang tuanya. Ia menyebut, saat kunjungan Kang Dedi Mulyadi (KDM) ke kawasan Pasteur beberapa waktu lalu, tidak ada dialog atau pesan yang disampaikan langsung kepada PKL di sekitar RS Hermina dan Griya Pasteur.
“Waktu beliau lewat hanya melambaikan tangan. PKL di sekitar sini tidak diajak bicara,” ujar Abdul.
Ia juga menyinggung kabar bahwa PKL diseberang kawasan Pasteur sempat diminta berhenti berjualan selama satu bulan, dengan kompensasi yang disebut mencapai Rp5 juta serta janji relokasi. Namun hingga kini, menurut Abdul, realisasi relokasi tersebut belum jelas.
“Kalau kami tidak mau hanya diberi uang Rp5 juta tanpa kepastian ke depan. Ini satu-satunya sumber penghasilan kami untuk menghidupi keluarga,” tegasnya.
Abdul turut mengeluhkan praktik penertiban yang kerap dilakukan tanpa pemberitahuan resmi dari Pemerintah Kota Bandung, baik melalui kelurahan, kecamatan, maupun Satpol PP. Dalam beberapa penertiban, barang dagangan seperti tabung gas, tutup panci, hingga kartu identitas pedagang turut diamankan. Untuk mengambil kembali barang tersebut, para PKL harus menjalani siding tipiring dengan biaya administrasi yang telah ditetapkan sekitar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu.
“Kami sadar salah karena berjualan di bahu jalan, tapi rasanya kami diperlakukan seperti pelaku kejahatan. Ini urusan perut,” ungkapnya.
Harapan PKL: Dialog dan Koordinasi dengan Pihak Rumah Sakit
Rahman, pedagang cilok yang juga meneruskan usaha orang tuanya, mengaku hidup dalam tekanan psikologis akibat penertiban yang kerap terjadi. Ia berharap pemerintah daerah dapat berkoordinasi langsung dengan pihak RS Hermina Pasteur untuk memfasilitasi PKL agar bisa berjualan secara tertib.
“Kalau kami yang bicara, sering tidak didengar. Tapi kalau pemerintah yang bicara langsung ke pihak rumah sakit, mungkin hasilnya akan berbeda,” katanya.
Rahman juga mengungkapkan keinginannya bertemu langsung dengan Kang Dedi Mulyadi.
“Saya ingin bertemu dan berfoto dengan beliau. Menurut saya, beliau orang hebat dan peduli rakyat kecil,” ujarnya.
Selain itu, ia mempertanyakan kejelasan dana administrasi yang harus dibayarkan saat menebus barang dagangan. “Uang itu masuk ke mana, apa masuk ke pusat dan dialokasikan untuk apa?” tanyanya.
Pendapatan Menurun, Tekanan Psikologis Meningkat
Keluhan serupa disampaikan pedagang pempek, penjual otak-otak, hingga pedagang bakso asal Jawa Timur yang telah belasan tahun berjualan di kawasan tersebut. Mereka mengaku pendapatan menurun drastis sejak penertiban dilakukan hampir setiap hari, bahkan terkadang dua kali dalam sehari.
Seorang pedagang otak-otak yang telah lima tahun berjualan dan mengontrak di wilayah Cimindi mengaku keberatan jika hanya diminta berhenti berjualan dengan kompensasi uang tanpa kejelasan relokasi.“Uang bisa habis, tapi bagaimana hidup kami ke depannya?” katanya.
Sementara itu, Wawan, PKL yang telah berjualan selama 30 tahun dan tinggal di Jalan Hj. Yasin, menyatakan siap ditata dan direlokasi, asalkan difasilitasi dengan baik dan masih berada di sekitar kawasan Pasteur.
“Kami siap bayar jika difasilitasi asal sesuai kemampuan. Ini mata pencaharian satu-satunya,” ujarnya.
Wawan juga mengaku sempat berdialog dengan salah satu petugas Satpol PP yang menyebut penertiban dilakukan karena adanya laporan dari pihak RS Hermina Pasteur.
Menunggu Kebijakan yang Tegas dan Berkeadilan
Dari seluruh wawancara yang dilakukan, para PKL menegaskan bahwa mereka tidak menolak aturan dan menyadari adanya pelanggaran yang dilakukan. Namun mereka berharap penertiban tidak semata berfokus pada penegakan hukum, melainkan disertai solusi nyata berupa penataan dan relokasi yang jelas, manusiawi, serta berkelanjutan.
Hingga saat ini, belum ada kejelasan teknis terkait skema penataan maupun relokasi PKL di kawasan Pasteur tepatnya PKL sekitar RS Herminadan Griya Pasteur. Para pedagang pun menunggu kebijakan yang tegas namun berkeadilan dari Pemerintah Kota Bandung, agar ketertiban kota dapat berjalan seiring dengan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.
Hingga berita ini diterbitkan, masih berupaya mengonfirmasi Pemerintah Kota Bandung, termasuk Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), Satpol PP Kota Bandung, serta pihak RS Hermina Pasteur, terkait dasar hukum penertiban, mekanisme penataan dan relokasi PKL, serta kejelasan skema kompensasi yang beredar di lapangan.
Pihak PrabuNews berencana menghubungi pihak kelurahan dan kecamatan setempat untuk penjelasan mengenai peran pemerintah wilayah dalam sosialisasi, pendataan, serta koordinasi penertiban PKL di kawasan Pasteur. Namun hingga berita ini diturunkan, belum diperoleh keterangan resmi.






