Deolipa Yumara Geram Dengan Kebuasan Pelaku di Rumah Ibadah Umat Budha

JAKARTA, LENSAJABAR.COM – Selaku kuasa hukum Michele, Deolipa Yumara begitu geram dengan kebuasan pelaku pada korbannya. Terlebih terjadi di rumah ibadah umat Budha.

“Jangan merasa kebal hukum, atau berlindung dengan penegak hukum. Saya sikat sampai ke akar-akarnya,” tegas Deolipa Yumara.

Bagi Deolipa setelah mempelajari penjelasan korban, dirinya sudah ‘membaca’ skenario para pelaku kekerasan. Termasuk keterkaitan dengan para pihak.

Cara kekerasan yang dilakukan pelaku, dianggap Deolipa pola lama. Sehingga mudah terbaca oleh siapapun.

Karena itu, Deolipa bersikap tidak mentoleransi pihak manapun yang melindungi pelaku. Terlebih sudah masuk perbuatan pidana.

Seperti diketahui Michele menjadi korban premanisme, oleh sekelompok orang diduga dari Indonesia Timur. Para pelaku mewakili ahli waris, mengusir para pengurus dari Vihara Tien En Tang, yang berada dalam perumahan elit Green Garden Jakarta Barat.

Akibat cara pengusiran dengan kekerasan, membuat tangan dan kaki Michele biru lebam. Setelah diseret paksa keluar, terkena benturan benda tumpul.

Begitu juga beberapa barang didalam rumah belum diambil pengurus. Baik mobil operasional yayasan Vihara Metta Karuna Maitreya masih di garasi, maupun uang sumbangan jamaah dalam brankas lebih dari 100 juta rupiah. Dan berbagai barang keperluan kerja yayasan.

Peristiwa ini terjadi, karena memperebutkan tanah hibah yang diberikan Amih Widjaya untuk ibadah umat Budha. Namun setelah Amih Widjaya meninggal, salah satu anaknya bernama Lily memperebutkan harta orangtuanya itu.

Almarhum menghibahkan tanah seluas 300 meter pada yayasan. Dan pengurus mendirikan bangunan tiga lantai di atas tanah tersebut, dari sumbangan uang para jamaah Budha.

Ditempat yang sama, Selly salah satu pengurus yayasan menjelaskan, hingga saat ini, tempat ibadah Vihara Tien En Tang masih belum bisa digunakan sebagaimana mestinya, sebab umat tersebut masih melakukan ibadah di luar Vihara.

“Setelah dibuka oleh pengacara bapak Deolipa, hingga hari Minggu kemarin, kami masih melaksanakan ibadah diluar, karena kita belum berani masuk lagi, sebab dari pihak kepolisian juga belum ada uji forensik atau difoto terkait keadaan Vihara saat ini,” ungkap Selly kepada media di Polres Jakarta Selatan, Selasa (4/9/2022).

Lebih lanjut katanya, saat ini hal paling diutamakan adalah bagaimana agar umat dapat beribadah di dalam seperti biasanya.

“Ini yang paling penting, biar clear dulu ini dan sisanya biar kita ikuti proses hukum saja,” tandasnya.

Sementara salah satu umat yang menjadi korban kekerasan di Vihara beberapa waktu lalu, Michelle menambahkan, terkait timbulnya sertifikat baru itu bagaimana ceritanya. Berawal pada tahun 2017, pihak yayasan disangkakan penyerobotan lahan, dan pihak yayasan dimintai keterangan, namun karena tidak adanya bukti, laporan itu terhenti.

“Nah..diduga, saat pihak yayasan menunjukkan copy sertifikat dan dipinjam oleh ahli waris (disalahgunakan) disitulah dengan dasar sertifikat tersebut, pihak ahli waris menimbulkan sertifikat baru. Karena sertifikat yang lahir (terbit) pengganti dari sertifikat yang hilang,” jelasnya

Selain itu katanya, diduga ahli waris membuat laporan palsu kepada pihak BPN yang terbit tahun 2020. Sementara ahli waris tahu jelas bahwa sertifikat asli yang terbit pada tahun 2012 dipegang oleh pihak yayasan. Dan sertifikat yang terbit sudah atas nama ahli waris, Lili yang seharusnya bila ada perubahan sertifikat mesti melalui prosedural. Apalagi, PBB juga masih atas nama yayasan.

“Seharusnya, bila ada proses balik nama, pastinya ada konfirmasi maupun administrasi, seperti pengecekan PBB dan lainnya,” ucapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *